BENTANG ALAM KARST
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kars adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya sebagai hasil dari proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan di atasnya. Perlindungan kawasan karst dan gua-gua di bawahnya dalam UU No. 24 th 1992 bahwa yang termasuk kawasan lindung diantaranya kawasan resapan air dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan (pasal 7) yang merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya (pasal 3). Bentuk-bentuk topografi karst mayor antara lain :
1. Surupan (dodline)
2. Uvala
3. Polje
4. Jendela Karst
5. Lembah Karst
6. Gua
7. Terowongan
Sedangkan bentuk topografi minor :
1. Lapies
2. Karst split
3. Parit Karst
4. Palung Karst
5. Speleotherms
6. Fitokarst
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya pembuatan paper ini adalah :
1. Mampu menjelaskan tentang bentang alam karst
2. Mampu mengetahui dan lebih memahami tentang bentang alam karst
3. Mampu mengatasi permasalahan yang ada pada bentang alam karst
1.3 Ruang Lingkup
1.3.1 Ruang Lingkup Spasial
Pegunungan Seribu (Gunung Sewu)
1.3.2 Ruang Lingkup Substansial
Gombong (Jawa Tengah) hingga Pacitan (Jawa Timur)
BAB II
ARTIKEL
Karst, Potensi “Segunung” di Pegunungan Seribu
Pemeo yang menyebutkan "Tanah Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang
tersenyum" untuk menunjukkan permainya alam di Jawa Barat-mungkin bisa
sebaliknya bila kita melihat jajaran Pegunungan Seribu (Gunung Sewu) di bagian
selatan Pulau Jawa. Jajaran pegunungan kapur yang memanjang dari Pacitan (Jawa Timur) hingga Gombong (Jawa Tengah) itu selama ini memang lebih menonjolkan wajah kemiskinan akibat kegersangan dan tandusnya wilayah tersebut. Namun, sekarang ini perhatian mulai terarah pada potensi yang tersembunyi di balik pegunungan kapur atau karst ini. Terbukti, pemerintah menetapkan Pegunungan Seribu sebagai Kawasan Eko-Karst yang membentang dari Kabupaten Pacitan (Jatim), Kabupaten Wonogiri (Jateng), Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta), dan Kabupaten Kebumen (Jateng). Pencanangannya dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 6 Desember lalu, di Wonosari, Gunung Kidul.
Tidak dapat dipungkiri, kesan tandus, gersang, kering kerontang, terproyeksi
setiap kita berkunjung ke kawasan Pegunungan Sewu. Bongkahan bebatuan kapur, lahan yang retak-retak, minimnya populasi tumbuhan, dan menyusutnya debit air sungai secara drastis mendominasi pandangan mata setiap musim kemarau tiba. Berbagai kesulitan dialami oleh warga. Persoalan klasik kesulitan air merupakan hal utama. Bahkan, petani hanya bisa mengandalkan hujan untuk pengairan sehingga hasil pertanian hanya dapat dilakukan 1-2 kali dalam setahun.
Warga memanfaatkan lapisan tanah pada teras dan lembah di sela bebatuan karst
untuk menanam kayu jati, kayu mahoni, ketela, padi, jagung, dan kacang-kacangan. Namun, hasil pertanian tetap minim. Karena itu, pilihan urbanisasi ke kota, atau alih profesi di bidang jasa-bukan lagi agrikultur- menjadi alternatif pokok bagi warga Pegunungan Sewu untuk mempertahankan hidup. Terlepas dari beban yang mengimpit warga, keunikan karst Pegunungan Sewu mendorong International Union of Speleology, pada kongresnya di Beijing tahun
1993, secara aklamasi mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia agar menominasikan karst Pegunungan Sewu sebagai World Heritage Site. Hanya sayang, karena telanjur dihuni, proses pelegitimasian belum tercapai.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro saat membuka Workshop Nasional Pengelolaan Kawasan Karst, Agustus lalu di Wonogiri, memaparkan bahwa karst bukan hanya dapat ditambang, tetapi juga bisa digunakan untuk wahana penelitian, eksplorasi air tanah, arkeologis, dan juga wisata. Menurut ahli geologi Dr. Tony Djubiantono yang kini Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, sejarah geologi wilayah Pegunungan Seribu diduga terbentuk pada kala miosen atau plestosen tengah, jutaan tahun yang lalu. Saat itu terjadi perubahan yang spektakuler, yaitu ketika dasar lautan di daerah itu terangkat ke atas. Pada proses terangkatnya dasar lautan yang semula merupakan teluk besar, berlangsunglah pembentukan koloni berupa bukit-bukit yang kemudian menjadi bagian dari Pegunungan Seribu. Bukit-bukit di daerah itu sampai sekarang pun secara jelas memperlihatkan format batuan koral serupa dengan batuan di dasar lautan. Bahkan, di sejumlah tempat dengan mudah ditemukan fosil-fosil binatang laut.
Karst yang dalam definisi ilmiah berarti bentang alam di permukaan, dan di bawah permukaan yang secara khas berbentuk batu gamping dan dolomit, sebagai proses pelarutan dan peresapan air, merupakan potensi tersembunyi yang belum dikenal sehingga pemberdayaannya pun belum optimal. Ciri dominan karst berupa bukit-bukit karang yang tersusun atas batuan gamping atau kapur. Bukit kapur itu berbentuk meruncing (conical limestone), atau seperti kubah. Selain bukit karang, kawasan karst memiliki cekungan (doline) atau lembah. Di samping itu, beberapa kawasan karst dilengkapi pula dengan telaga (lepen) guna menampung air hujan.
Di Pegunungan Sewu saja, bukit karst diperkirakan berjumlah 40.000 bukit pada
ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Menurut data yang dipaparkan
Deputi IV Bidang Pelestarian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Sudariyono, jumlah itu baru sebagian kecil karena Indonesia memiliki lebih dari 15,4 juta hektar kawasan karst. Secara faktual, kawasan karst tidaklah "semiskin" yang dibayangkan. Ratusan meter di bawah permukaan tanah terdapat sungai bawah tanah dengan debit air melimpah. Di kawasan ini, jaringan sungai bawah tanah membawa air hingga ke permukaan, membentuk mata air. Berdasarkan pendataan Forum Karst Goenoeng Sewu, jumlah mata air di kawasan karst Pegunungan Sewu mencapai 155 mata air. Di Kabupaten Gunung Kidul, terdapat empat sumber air dari sungai bawah tanah untuk memasok kebutuhan air bersih warga Gunung Kidul. Di antaranya, Sumber Air Baron, Kecamatan Tanjungsari, berdebit 1.080 liter per detik, Sumber Air Ngobaran, Kecamatan Saptosari (135 liter per detik), Sumber Air Seropan di Kecamatan Semanu (800 liter per detik), dan Sumber Air Bribin, Kecamatan Semanu (1.000 liter per detik).Sumber air juga ditemukan di Kabupaten Wonogiri, contohnya di Desa Gudangharjo, Kecamatan Paranggupito, yang mendapatkan pasokan air bersih dari sumber air di
Pantai Nampu, maupun Kecamatan Pracimantoro dari sumber air di sisi barat kota
kecamatan. Persoalannya, keberadaan sumber air tersebut tidak memadai, di samping jarak yang terlalu jauh dari permukiman. Pengeboran sumur dalam merupakan solusi untuk memecahkan kelangkaan air, sebagaimana dilakukan di Desa Suci, Pracimantoro, maupun Bribin, Gunung Kidul. Namun, biaya pemasangan instalasi pengeboran terbilang mahal. Terkait dengan sumber air karst, merebaknya penambangan di kawasan karst menimbulkan permasalahan tersendiri karena berpotensi mencemari jaringan bawah tanah. Peneliti karst dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Drs. Eko Haryono Msi, menjelaskan, penambangan telah merusak keberadaan goa di dalam tanah perbukitan karst. Padahal, sering kali ditemukan goa-goa yang menyimpan
fosil masa prasejarah. Dari beberapa goa yang diteliti, ditemukan fosil manusia prasejarah, di antaranya fosil manusia pacitan yang diperkirakan hidup 30.000 tahun lalu. Sedangkan Tim Arkeologi Universitas Gadjah Mada selama lima tahun terakhir mencatat, terdapat 11 kecamatan di Gunung Kidul yang memiliki kawasan karst dengan situs goa mencapai 40 situs di tiap kecamatan. Namun, sejumlah goa saat ini telah ditambang, di antaranya Goa Sengok di Playen.
Pada workshop bertajuk “Kawasan Karst untuk Peningkatan Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat” di Wonogiri, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyebutkan tingginya manfaat ekonomis karst."Tentu saja pemanfaatan karst tidak seluruhnya dapat dilakukan, melainkan harus melalui analisis mengenai dampak lingkungan," ujar Purnomo.
Kawasan karst terbagi dalam tiga kelas, yakni kawasan karst kelas I, kawasan
karst kelas II, dan kawasan karst kelas III. Pada kawasan karst kelas I, dengan kriteria mempunyai fungsi pengimbuh air bawah tanah permanen, gua dan sungai bawah tanah aktif, serta speosistem aktif, sangat kecil peluang dilakukan penambangan, meski tidak tertutup dimanfaatkan sebagai lokasi wisata. Pada kawasan karst kelas II dapat dilakukan penambangan secara terkontrol, sedangkan penambangan batu gamping dilakukan di kawasan karst kelas III. Bupati Wonogiri Begug Purnomosidi mengemukakan, Wonogiri mengembangkan
setidaknya tiga goa karst, yakni Goa Ngatap di Bayem Harjo (50 kilometer dari
Wonogiri), Goa Platar di Platarejo (50 kilometer dari Wonorejo), dan Goa Putri
Kencana di Pracimantoro. Sementara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunung Kidul telah menetapkan kawasan wisata karst, di antaranya Goa Seropan, Kecamatan Semanu, dan Goa Maria di Kecamatan Playen. Begug menyatakan tertarik pada pemanfaatan kawasan karst di Wonogiri karena mencakup kawasan seluas 18,6 persen atau 338,74 kilometer persegi dari luas
Wonogiri. "Kawasan karst Wonogiri didiami sekitar 207.581 jiwa. Mereka sebagian besar petani dan buruh sehingga kami berkepentingan dengan rencana pemberdayaan karst," ujarnya. Pada kawasan karst yang terletak di kabupaten-kabupaten sisi selatan Jawa itulah bencana kekeringan dan kemiskinan terus terjadi. Rasanya sia-sia tatkala potensi karst didengung-dengungkan, namun di sisi lain tidak ada langkah konkret. (HARYO DAMARDONO/BM LUKITA GRAHADYARINI)
Sumber : Kompas, 17 Desember 2004
http://groups.yahoo.com/group/subterra-id/message/604
BAB III
PEMBAHASAN
Karst adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya. Seperti yang telah dipaparkan di artikel, bahwa Kawasan Karst bukan hanya untuk pertambangan, bahkan ada beberapa tempat di Indonesia yang memiliki kawasan karst tapi memiliki perlindungan tersendiri berdasarkan UU No. 24 th 1992, agar melarang untuk pertambangan, seperti gunung kidul. Ciri dominan karst yang berupa bukit-bukit karang yang tersusun atas batuan gamping atau kapur, sedangkan bukit kapur itu berbentuk meruncing (conical limestone), atau seperti kubah.
Menurut data yang dipaparkan, Deputi IV Bidang Pelestarian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Sudariyono, jumlah itu baru sebagian kecil karena Indonesia memiliki lebih dari 15,4 juta hektar kawasan karst. Secara faktual, kawasan karst tidaklah "semiskin" yang dibayangkan. Ratusan meter di bawah permukaan tanah terdapat sungai bawah tanah dengan debit air melimpah. Di kawasan ini, jaringan sungai bawah tanah membawa air hingga ke permukaan, membentuk mata air. Berdasarkan pendataan Forum Karst Goenoeng Sewu, jumlah mata air di kawasan karst Pegunungan Sewu mencapai 155 mata air. Keunikan karst Pegunungan Sewu mendorong International Union of Speleology. Namun, masih saja ada masyarakat yang tidak menanggapi tanggapan International Union of Speleology dengan positf, karena masih banyaknya pertambangan-pertambangan liar dan beberapa pemburu air tanah khususnya di daerah gunung kidul yang telah ditelaah penulis.
Akhirnya segala kenampakan kemiskinan daerah gunung sewu, pegunungan seribu menyadarkan pemerintah akan segala potensi-potensi di balik gunung yang sangat melimpah. Walaupun daerah gunung sewu ini sangatlah tandus dan kering, sehingga hanya memanfaatkan curah hujan yang cukup jarang. Namun memiliki potensi air tanah yang menjadi perhatian beberapa pemburu liar. Mungkin segala paparan mengenai keindahan dan kekayaan daerah Indonesia yang memiliki kawasan karst haruslah sadar dan menjaga lingkungan sekitar. Begitu banyak kawasan Indonesia yang menjadi pusat perhatian di mata mancanegara tetapi malah disia-siakan oleh masyarakat Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kars adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya sebagai hasil dari proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan Gunung Sewu , Pegunungan Seribu, memiliki banyak potensi untuk daerah karst. Dimana daerah karst yang dimiliki Indonesia khususnya Gunung Sewu sudah menjadi pusat perhatian yang mengkhawatirkan. Walaupun kondisi daerah Gunung Sewu yang kering dan tandus, Keindahan daerah Karst di daerah gunung sewu mendapatkan penghargaan untuk keunikan karst Pegunungan Sewu mendorong International Union of Speleology, pada kongresnya di Beijing tahun 1993, secara aklamasi mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia agar menominasikan karst Pegunungan Sewu sebagai World Heritage Site.
5.2 Saran
1. Agar pemerintah dan masyarakat Indonesia mentaati peraturan mengenai kawasan karst.
2. Seluruh masyarakat Indonesia harus turut mendukung dan menanggapi postif tanggapan dari International Union of Speleology.
3. Lebih menjual keindahan dari kawasan karst Gunung Sewu dan tidak menambang liar di kawasan setempat.
LAPORAN PRAKTIKUM
GEOLOGI FISIK
ACARA : GEOMORFOLOGI
Disusun Oleh :
Samuel Richard Natanael Simorangkir
21100110141006
LABORATORIUM GEODINAMIK, HIDROLOGI
DAN PLANOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
OKTOBER 2010
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kars adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya sebagai hasil dari proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan di atasnya. Perlindungan kawasan karst dan gua-gua di bawahnya dalam UU No. 24 th 1992 bahwa yang termasuk kawasan lindung diantaranya kawasan resapan air dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan (pasal 7) yang merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya (pasal 3). Bentuk-bentuk topografi karst mayor antara lain :
1. Surupan (dodline)
2. Uvala
3. Polje
4. Jendela Karst
5. Lembah Karst
6. Gua
7. Terowongan
Sedangkan bentuk topografi minor :
1. Lapies
2. Karst split
3. Parit Karst
4. Palung Karst
5. Speleotherms
6. Fitokarst
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya pembuatan paper ini adalah :
1. Mampu menjelaskan tentang bentang alam karst
2. Mampu mengetahui dan lebih memahami tentang bentang alam karst
3. Mampu mengatasi permasalahan yang ada pada bentang alam karst
1.3 Ruang Lingkup
1.3.1 Ruang Lingkup Spasial
Pegunungan Seribu (Gunung Sewu)
1.3.2 Ruang Lingkup Substansial
Gombong (Jawa Tengah) hingga Pacitan (Jawa Timur)
BAB II
ARTIKEL
Karst, Potensi “Segunung” di Pegunungan Seribu
Pemeo yang menyebutkan "Tanah Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang
tersenyum" untuk menunjukkan permainya alam di Jawa Barat-mungkin bisa
sebaliknya bila kita melihat jajaran Pegunungan Seribu (Gunung Sewu) di bagian
selatan Pulau Jawa. Jajaran pegunungan kapur yang memanjang dari Pacitan (Jawa Timur) hingga Gombong (Jawa Tengah) itu selama ini memang lebih menonjolkan wajah kemiskinan akibat kegersangan dan tandusnya wilayah tersebut. Namun, sekarang ini perhatian mulai terarah pada potensi yang tersembunyi di balik pegunungan kapur atau karst ini. Terbukti, pemerintah menetapkan Pegunungan Seribu sebagai Kawasan Eko-Karst yang membentang dari Kabupaten Pacitan (Jatim), Kabupaten Wonogiri (Jateng), Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta), dan Kabupaten Kebumen (Jateng). Pencanangannya dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 6 Desember lalu, di Wonosari, Gunung Kidul.
Tidak dapat dipungkiri, kesan tandus, gersang, kering kerontang, terproyeksi
setiap kita berkunjung ke kawasan Pegunungan Sewu. Bongkahan bebatuan kapur, lahan yang retak-retak, minimnya populasi tumbuhan, dan menyusutnya debit air sungai secara drastis mendominasi pandangan mata setiap musim kemarau tiba. Berbagai kesulitan dialami oleh warga. Persoalan klasik kesulitan air merupakan hal utama. Bahkan, petani hanya bisa mengandalkan hujan untuk pengairan sehingga hasil pertanian hanya dapat dilakukan 1-2 kali dalam setahun.
Warga memanfaatkan lapisan tanah pada teras dan lembah di sela bebatuan karst
untuk menanam kayu jati, kayu mahoni, ketela, padi, jagung, dan kacang-kacangan. Namun, hasil pertanian tetap minim. Karena itu, pilihan urbanisasi ke kota, atau alih profesi di bidang jasa-bukan lagi agrikultur- menjadi alternatif pokok bagi warga Pegunungan Sewu untuk mempertahankan hidup. Terlepas dari beban yang mengimpit warga, keunikan karst Pegunungan Sewu mendorong International Union of Speleology, pada kongresnya di Beijing tahun
1993, secara aklamasi mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia agar menominasikan karst Pegunungan Sewu sebagai World Heritage Site. Hanya sayang, karena telanjur dihuni, proses pelegitimasian belum tercapai.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro saat membuka Workshop Nasional Pengelolaan Kawasan Karst, Agustus lalu di Wonogiri, memaparkan bahwa karst bukan hanya dapat ditambang, tetapi juga bisa digunakan untuk wahana penelitian, eksplorasi air tanah, arkeologis, dan juga wisata. Menurut ahli geologi Dr. Tony Djubiantono yang kini Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, sejarah geologi wilayah Pegunungan Seribu diduga terbentuk pada kala miosen atau plestosen tengah, jutaan tahun yang lalu. Saat itu terjadi perubahan yang spektakuler, yaitu ketika dasar lautan di daerah itu terangkat ke atas. Pada proses terangkatnya dasar lautan yang semula merupakan teluk besar, berlangsunglah pembentukan koloni berupa bukit-bukit yang kemudian menjadi bagian dari Pegunungan Seribu. Bukit-bukit di daerah itu sampai sekarang pun secara jelas memperlihatkan format batuan koral serupa dengan batuan di dasar lautan. Bahkan, di sejumlah tempat dengan mudah ditemukan fosil-fosil binatang laut.
Karst yang dalam definisi ilmiah berarti bentang alam di permukaan, dan di bawah permukaan yang secara khas berbentuk batu gamping dan dolomit, sebagai proses pelarutan dan peresapan air, merupakan potensi tersembunyi yang belum dikenal sehingga pemberdayaannya pun belum optimal. Ciri dominan karst berupa bukit-bukit karang yang tersusun atas batuan gamping atau kapur. Bukit kapur itu berbentuk meruncing (conical limestone), atau seperti kubah. Selain bukit karang, kawasan karst memiliki cekungan (doline) atau lembah. Di samping itu, beberapa kawasan karst dilengkapi pula dengan telaga (lepen) guna menampung air hujan.
Di Pegunungan Sewu saja, bukit karst diperkirakan berjumlah 40.000 bukit pada
ketinggian 100-300 meter di atas permukaan laut. Menurut data yang dipaparkan
Deputi IV Bidang Pelestarian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Sudariyono, jumlah itu baru sebagian kecil karena Indonesia memiliki lebih dari 15,4 juta hektar kawasan karst. Secara faktual, kawasan karst tidaklah "semiskin" yang dibayangkan. Ratusan meter di bawah permukaan tanah terdapat sungai bawah tanah dengan debit air melimpah. Di kawasan ini, jaringan sungai bawah tanah membawa air hingga ke permukaan, membentuk mata air. Berdasarkan pendataan Forum Karst Goenoeng Sewu, jumlah mata air di kawasan karst Pegunungan Sewu mencapai 155 mata air. Di Kabupaten Gunung Kidul, terdapat empat sumber air dari sungai bawah tanah untuk memasok kebutuhan air bersih warga Gunung Kidul. Di antaranya, Sumber Air Baron, Kecamatan Tanjungsari, berdebit 1.080 liter per detik, Sumber Air Ngobaran, Kecamatan Saptosari (135 liter per detik), Sumber Air Seropan di Kecamatan Semanu (800 liter per detik), dan Sumber Air Bribin, Kecamatan Semanu (1.000 liter per detik).Sumber air juga ditemukan di Kabupaten Wonogiri, contohnya di Desa Gudangharjo, Kecamatan Paranggupito, yang mendapatkan pasokan air bersih dari sumber air di
Pantai Nampu, maupun Kecamatan Pracimantoro dari sumber air di sisi barat kota
kecamatan. Persoalannya, keberadaan sumber air tersebut tidak memadai, di samping jarak yang terlalu jauh dari permukiman. Pengeboran sumur dalam merupakan solusi untuk memecahkan kelangkaan air, sebagaimana dilakukan di Desa Suci, Pracimantoro, maupun Bribin, Gunung Kidul. Namun, biaya pemasangan instalasi pengeboran terbilang mahal. Terkait dengan sumber air karst, merebaknya penambangan di kawasan karst menimbulkan permasalahan tersendiri karena berpotensi mencemari jaringan bawah tanah. Peneliti karst dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), Drs. Eko Haryono Msi, menjelaskan, penambangan telah merusak keberadaan goa di dalam tanah perbukitan karst. Padahal, sering kali ditemukan goa-goa yang menyimpan
fosil masa prasejarah. Dari beberapa goa yang diteliti, ditemukan fosil manusia prasejarah, di antaranya fosil manusia pacitan yang diperkirakan hidup 30.000 tahun lalu. Sedangkan Tim Arkeologi Universitas Gadjah Mada selama lima tahun terakhir mencatat, terdapat 11 kecamatan di Gunung Kidul yang memiliki kawasan karst dengan situs goa mencapai 40 situs di tiap kecamatan. Namun, sejumlah goa saat ini telah ditambang, di antaranya Goa Sengok di Playen.
Pada workshop bertajuk “Kawasan Karst untuk Peningkatan Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat” di Wonogiri, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyebutkan tingginya manfaat ekonomis karst."Tentu saja pemanfaatan karst tidak seluruhnya dapat dilakukan, melainkan harus melalui analisis mengenai dampak lingkungan," ujar Purnomo.
Kawasan karst terbagi dalam tiga kelas, yakni kawasan karst kelas I, kawasan
karst kelas II, dan kawasan karst kelas III. Pada kawasan karst kelas I, dengan kriteria mempunyai fungsi pengimbuh air bawah tanah permanen, gua dan sungai bawah tanah aktif, serta speosistem aktif, sangat kecil peluang dilakukan penambangan, meski tidak tertutup dimanfaatkan sebagai lokasi wisata. Pada kawasan karst kelas II dapat dilakukan penambangan secara terkontrol, sedangkan penambangan batu gamping dilakukan di kawasan karst kelas III. Bupati Wonogiri Begug Purnomosidi mengemukakan, Wonogiri mengembangkan
setidaknya tiga goa karst, yakni Goa Ngatap di Bayem Harjo (50 kilometer dari
Wonogiri), Goa Platar di Platarejo (50 kilometer dari Wonorejo), dan Goa Putri
Kencana di Pracimantoro. Sementara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunung Kidul telah menetapkan kawasan wisata karst, di antaranya Goa Seropan, Kecamatan Semanu, dan Goa Maria di Kecamatan Playen. Begug menyatakan tertarik pada pemanfaatan kawasan karst di Wonogiri karena mencakup kawasan seluas 18,6 persen atau 338,74 kilometer persegi dari luas
Wonogiri. "Kawasan karst Wonogiri didiami sekitar 207.581 jiwa. Mereka sebagian besar petani dan buruh sehingga kami berkepentingan dengan rencana pemberdayaan karst," ujarnya. Pada kawasan karst yang terletak di kabupaten-kabupaten sisi selatan Jawa itulah bencana kekeringan dan kemiskinan terus terjadi. Rasanya sia-sia tatkala potensi karst didengung-dengungkan, namun di sisi lain tidak ada langkah konkret. (HARYO DAMARDONO/BM LUKITA GRAHADYARINI)
Sumber : Kompas, 17 Desember 2004
http://groups.yahoo.com/group/subterra-id/message/604
BAB III
PEMBAHASAN
Karst adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya. Seperti yang telah dipaparkan di artikel, bahwa Kawasan Karst bukan hanya untuk pertambangan, bahkan ada beberapa tempat di Indonesia yang memiliki kawasan karst tapi memiliki perlindungan tersendiri berdasarkan UU No. 24 th 1992, agar melarang untuk pertambangan, seperti gunung kidul. Ciri dominan karst yang berupa bukit-bukit karang yang tersusun atas batuan gamping atau kapur, sedangkan bukit kapur itu berbentuk meruncing (conical limestone), atau seperti kubah.
Menurut data yang dipaparkan, Deputi IV Bidang Pelestarian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Sudariyono, jumlah itu baru sebagian kecil karena Indonesia memiliki lebih dari 15,4 juta hektar kawasan karst. Secara faktual, kawasan karst tidaklah "semiskin" yang dibayangkan. Ratusan meter di bawah permukaan tanah terdapat sungai bawah tanah dengan debit air melimpah. Di kawasan ini, jaringan sungai bawah tanah membawa air hingga ke permukaan, membentuk mata air. Berdasarkan pendataan Forum Karst Goenoeng Sewu, jumlah mata air di kawasan karst Pegunungan Sewu mencapai 155 mata air. Keunikan karst Pegunungan Sewu mendorong International Union of Speleology. Namun, masih saja ada masyarakat yang tidak menanggapi tanggapan International Union of Speleology dengan positf, karena masih banyaknya pertambangan-pertambangan liar dan beberapa pemburu air tanah khususnya di daerah gunung kidul yang telah ditelaah penulis.
Akhirnya segala kenampakan kemiskinan daerah gunung sewu, pegunungan seribu menyadarkan pemerintah akan segala potensi-potensi di balik gunung yang sangat melimpah. Walaupun daerah gunung sewu ini sangatlah tandus dan kering, sehingga hanya memanfaatkan curah hujan yang cukup jarang. Namun memiliki potensi air tanah yang menjadi perhatian beberapa pemburu liar. Mungkin segala paparan mengenai keindahan dan kekayaan daerah Indonesia yang memiliki kawasan karst haruslah sadar dan menjaga lingkungan sekitar. Begitu banyak kawasan Indonesia yang menjadi pusat perhatian di mata mancanegara tetapi malah disia-siakan oleh masyarakat Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kars adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya sebagai hasil dari proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan Gunung Sewu , Pegunungan Seribu, memiliki banyak potensi untuk daerah karst. Dimana daerah karst yang dimiliki Indonesia khususnya Gunung Sewu sudah menjadi pusat perhatian yang mengkhawatirkan. Walaupun kondisi daerah Gunung Sewu yang kering dan tandus, Keindahan daerah Karst di daerah gunung sewu mendapatkan penghargaan untuk keunikan karst Pegunungan Sewu mendorong International Union of Speleology, pada kongresnya di Beijing tahun 1993, secara aklamasi mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia agar menominasikan karst Pegunungan Sewu sebagai World Heritage Site.
5.2 Saran
1. Agar pemerintah dan masyarakat Indonesia mentaati peraturan mengenai kawasan karst.
2. Seluruh masyarakat Indonesia harus turut mendukung dan menanggapi postif tanggapan dari International Union of Speleology.
3. Lebih menjual keindahan dari kawasan karst Gunung Sewu dan tidak menambang liar di kawasan setempat.
LAPORAN PRAKTIKUM
GEOLOGI FISIK
ACARA : GEOMORFOLOGI
Disusun Oleh :
Samuel Richard Natanael Simorangkir
21100110141006
LABORATORIUM GEODINAMIK, HIDROLOGI
DAN PLANOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
OKTOBER 2010
Comments
Post a Comment